Imam Ghazali telah sampai ke derajat Hujjatul Islam, sedangkan Hujjatul Islam berarti telah hafal 300.000 (tiga ratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya.Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al Ghazaly At-Thuusiy Rahimahullah.
Berikut kami kutipkan dari kitab Al Bidayah wan Nihayah juz XVI halaman 214
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghozali, Beliau lahir pada tahun 450 H. Beliau mempelajari ilmu fiqih kepada Imam Haramain. Beliau mahir dengan banyak ilmu. Beliau mempunyai banyak karangan dari berbagai disiplin ilmu. Maka beliau termasuk salah seorang cendekiawan dunia disetiap apa yang dibahas. Beliau sudah menjadi pemimpin sejak usia muda, dimana beliau mengajar di An-Nidhamiyyah di Baghdad dalam usia beliau 34 tahun, dan dihadiri pembesar-pembesar ulama. Diantara yang hadir ialah Ibn Aqil dan Abul Khaththab yang mana keduanya adalah pembesar madzhab Hanbali. Mereka takjub dengan kefasihan dan pengetahuan beliau. Beliau pindah ke Syam, dan beliau mukim disana. Dan (beliau juga mukim) di Baitul Maqdis dalam satu masa. Beliau mengarang kitabnya Ihya’ Ulumiddin dalam masa ini. Ihya adalah sebuah kitab yang mengagumkan. Kitab tersebut memuat ilmu syara’ yang bermacam-macam, dicampur dengan hal-hal yang lembut dari tasawwuf dan amaliyah hati, akan tetapi didalam Ihya terhadapat banyak hadits yang gharib, munkar bahkan diantaranya ada yang maudhu’ sebagaimana ditemukan didalam kitab lainnya dari kitab-kitab Furu’ yang mana hadits-hadits tersebut dijadikan sebagai dalil untuk halal dan haram. Kitab yang dikarang untuk RAQAA`IQ (menghaluskan hati), TARGHIB (menyemangatkan) dan TARHIB (menjadikan takut) adalah perkara yang lebih dipermudah dari yang lainnya. Kemudian beliau pulang ke negaranya, Thus. Dan beliau mukim disana. Beliau membangun ribath. Beliau membuat rumah yang bagus. Beliau disana membikin taman yang indah, Beliau menetapi/menekuni tilawatil Quran dan menghafal hadits-hadits shahih.
Dan Beliau wafat pada hari Senin tanggal 24 Hijriyah bulan Jumadil akhir tahun ini (505 H). Beliau dimakamkan di Thus, semoga Allah Ta’ala merahmati beliau Sebagian kawan beliau memintanya, dalam keadaan beliau masih naza’, dia berkata: Wasiatilah aku, maka beliau berkata: Tetaplah kamu dengan ikhlas, kalimat tersebut beliau ulang-ulang sampai beliau wafat, Semoga Allah merahmatinya.
SEKELUMIT PUJIAN KIBARUL ULAMA’ KEPADA IMAM AL-GHOZALY
Al Hafizh Adz Dzahabi (673-748 H) dalam kitabnyaSiyar A'lam an Nubala juz XIX halaman 232, memulaibiografi Imam Ghazali dengan ucapan beliau :
“Al-Ghazali, Syaikh, Imam, Lautan, Hujjatul Islam, keajaiban zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, At-thusi, Asy-syafi'i, al Ghazali, orang yang mempunyai banyak karangan dan orang yang sangat cerdas”Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali Qoddasallohu Sirroh, beliau adalah seorang tokoh ilmuwan yang melaut, dan pemuka hati yang gemilang yang Tak pernah di dapatkan baik di kalangan Syafi'iyyah ataupun lainnya di akhir zaman ini, yang seperti beliau dan seperti kitab kitab karangan beliau. Dialah keindahan zamannya yang besar kadarnya selaku pensyarah kitabullah dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Beliau diakui oleh banyak sekali para Hujjatul Islam lainnya, diantaranya Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Astqalany, beliau banyak sekali mengambil ucapan Imam Ghazali pada kitabnya Fathul Bari beliau banyak merujuk fatwa Imam Ghazali dari kitabnya Ihya Ulumuddin, demikian pula Hujjatul Islam Imam Nawawi, demikian pula Al Hafizh Imam Qurtubiy, Al Hafizh Imam Assuyuthiy, (Al Hafizh adalah gelar bagi mereka yg telah hafal 100.000 (seratus ribu hadits) berikut sanad dan hukum matannya.
Quthbil-’auliyâ’ as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus berpesan kepada segenap umat Islam untuk selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan penjelasan keduanya, menurut beliau, telah termuat dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn karya Imâm Ghâzali.
Dua komentar ulama tadi telah membuktikan keagungan kitab ini dan besarnya anugerah yang diraih oleh Imâm Ghâzali. Sampai-sampai kritikus dan peneliti Hadits Ihyâ’, al-Imâm al-Faqîh al-Hâfîzh Abûl Fadhl al-`Irâqi, turut memberikan apreseasi positif terhadap kitab yang ditakhrijnya itu. Beliau menempatkan Ihyâ’ sebagai salah satu kitab teragung di tengah-tengah khazanah keilmuan Islam yang lain.
Sungguh agung sanjungan ulama-ulama tersebut terhadap kitab Ihyâ’ dan al-Ghâzali. Karenanya, tidak berlebihan bila Syârih (komentator) kitab tersebut, Murtadhâ az-Zabîdi, memunculkan sebuah image “andaikan masih ada nabi setelah Nabi Muhammad niscaya al-Ghâzali orangnya.
Imâm Ghâzali telah mengkonsep materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok. Dari masing-masing klasifikasi tersebut terdapat sepuluh pokok sub pembahasan utama (kitab). Secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama pengetahuan Islam, yakni Syarî`at, Tharîqat, dan Haqîqat. Imâm Ghâzali juga telah mengkoneksikan ketiganya dengan praktis dan mudah ditangkap oleh nalar pembaca. Sehingga, as-Sayyid Abdullâh al-`Aydrus memberikan sebuah kesimpulan bahwa dengan memahami kitab Ihyâ’ seseorang telah cukup untuk meraih tiga sendi agama Islam tersebut.Telah berkata Sayyid Bakri dalam Kifayatul Atqiyaa waminhajul Asyfiyaa halaman 98 :
“Tetaplah kalian dengan melazimkan Kitab Ihya’ Ulumuddin, karna dia itu tempat “pandangan” Allah dan keridloan-Nya. maka barangsiapa yang mencintainya dan menelaahnya serta mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya, maka sesungguhnya Ia telah berhak memperoleh kecintaan Allah dan kecintaan Rosul-Nya, kecintaan malaikat malaikat-Nya, kecintaan para Nabi-Nya, kecintaan para Wali-Nya, dan berarti Ia telah menjadikan antara Syari'at, Thoriqot, dan Hakikat di dunia dan Akhirat.dan jadilah Ia orang yang Aalim di alam malakut”
Di samping karena cakupan materi yang tersaji di dalamnya, kitab ini juga ditopang oleh jurnalistik yang sistematis. Sistematika penulisan yang begitu rapi menjadikan Ihyâ’ lebih menarik dan mudah dibaca oleh berbagai kalangan; sederhana, berbobot, dan tidak terlalu meluas dalam penyajian. Lagi pula istilah-istilah rumit juga jarang ditemui dalam pembendaharaan kata yang terpakai.
Inilah dibeberapa alasan kenapa kitab ini sangat digemari oleh banyak kalangan. Oleh fuqaha, Ihya’ dijadikan sebagai rujukan standar dalam bidang fikih. Oleh para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Kedua studi ilmu tersebut telah tercover dalam karya momumental Imâm Ghâzali ini.
Sebenarnya, tidak hanya dua kelompok ini yang banyak mereferensi Ihya’, Para teolog Islam juga menganggap penting untuk menempatkan Ihya’ sebagai bahan dasar kajian. Paradigma bertauhid yang disajikan Imâm Ghâzali di awal pembahasan kitab Ihya’ sangat membantu pada pencerahan akal dalam proses peng Esaan Allah. Imâm Ghâzali mampu mengarahkan logika pembaca pada sebuah kesimpulan yang benar dalam bertauhid dengan nalar berfikir yang tepat dan berdiri kokoh di atas dalil-dalil naqli.
KOREKSI ATAS IHYA’ ULUMIDDIN
Meskipun posisi Ihya’ di tengah-tengah keilmuan Islam sangat tinggi, bukan berarti kitab ini terlepas sepenuhnya dari koreksi dan kritik. Banyak sekali komentar negatif dan bantahan yang ditujukan kepada Imâm Ghozali atas karya momumentalnya ini, utamanya dalam studi Hadits yang beliau sajikan.Hadits-hadits Ihyâ’ ditengarai banyak bermasalah oleh beberapa kritikus Hadits. Keberadaannya menjadi sorotan utama dan sebagai bahan pokok kritikan para rival al-Ghozali, semisal al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahmân Ibnu al-Jauzi. Ibnul Jauzi yang dikenal anti Ihya, beliau banyak memvonis palsu pada hadits-hadits yang ditulis Imâm Ghozali dalam kitab tersebut.
Dinamika inilah yang selanjutnya diangkat kepermukaan oleh kelompok ekstrimis dan orentalis untuk menolak sepenuhnya isi kitab Ihya’ Ulumiddîn. Lebih-lebih, kelompok ini tanpa malu-malu menyebut al-Ghozali sebagai pemalsu hadits.
MELURUSKAN IHYA' ULUMUDDIN
Benarkah Imam al-Ghozali pemalsu hadits?Atau memang beliau tidak membidangi studi ini?Dan apakah kitab Ihya’ banyak memuat Hadits palsu sehingga tidak layak untuk dipelajari?
Berikut sebagai bahan pertimbangan ilmiah sebelum pembaca ikut mengiyakan tuduhan tersebut.Pertama, apabila dikatakan bahwa kitab Ihya’ banyak memuat Hadits-hadits palsu dan tidak terdapat landasan ilmiah dalam pembelaannya, maka tuduhan ini terlalu tergesa-gesa.Terhitung, hanya tiga redaksi Hadits yang diklaim maudhu` oleh al-Hafizh al-`Iraqi ketika mentakhrij lebih dari empat ribu lima ratus hadis yang ditampilkan Imâm Ghâzali dalam kitab Ihya’-nya. “Bilangan tersebut sangatlah kecil tutur al-`Irâqi. Lebih-lebih, apabila kita memandang jumlah Hadits yang ditampilkan oleh Imâm Ghâzali secara keseluruhan. Setidaknya, kuantitas hadits Imam Ghazali dalam kitab Ihyâ’-nya telah setingkat dengan beberapa kitab sunan, semisal Sunan Abî Dâwud, Sunan Nasâ’i, dan bahkan dapat dikatakan melebihi bilangan hadits yang terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah.
Dalam kitab: Ta’riful Ahya’ bi fadhoo’il Ihya’ karya Syaikh 'Abdul Qaadir al 'Aiydarus Ba 'Alawi :
Kedua, perlu dipahami bahwa ketiga Hadits tadi bukanlah refensi utama Imâm Ghâzali, malainkan sekedar tambahan dari dalîl shahîh yang mendasari ijtihadnya. Imâm Ghâzali selalu mendahulukan landasan ijtihadnya dengan dasar yang shahîh dari Al-Qur'an sebelum kemudian menampilkan dalil lain yang selevel atau di bawahnya.
Bahkan Imam Al-Ghozali sendiri pun sudah memberi peringatan kelirunya orang yang memperbolehkan memalsukan hadits dalam fadlaail a'amaal. Berikut teks aslinya dalam Ihya’ Ulumiddin juz III halaman 136, cetakan DaarIhyaa al Kutub al 'Arabi, 'Iisaa al Baabi al Halabi waSyirkaah.
Dan sekali lagi, bilangan tersebut sangatlah kecil. Tentu sangat na’if bila bagian kecil dari kekeliruan (untuk tidak mengatakan kesalahan karena keduanya memiliki perbedaan makna yang signifikan) tersebut dapat menghapus pada seluruh kebenaran yang terkandung dalam kitab Ihyâ’. Generalisasi seperti ini merupakan salah satu bentuk paralogis yang biasa dipakai oleh teroris intelektual ketika menghantam lawan pemikirannya tanpa memandang esensi kebenaran lain yang lebih berharga.
Ketiga, apabila dikatakan bahwa Imâm Ghâzali tidak kapabel dalam studi Hadits maka sangat keliru sekali. Al-Mustashfâ karya al-Ghâzali di bidang Usul Fiqh cukup kiranya untuk membuktikan kapabilitas beliau dalam bidang kajian Hadits. Dalam kitab tersebut, tepatnya pada entri pembahasan sunnah, Imâm Ghâzali telah panjang lebar menuturkan konsep dan perdebatan ulama mengenai dinamika kajian Hadits, utamanya yang berkenaan dalam proses istinbâtul-ahkâm. Bahkan, al-Ghâzali juga sempat memberikan tarjih ketika terjadi perselisihan alot antara ulama, baik itu yang muncul dari kalangan ushûliyyin atau muhadditsîn.
Husnudz-zhan kita, kesengajaan dalam pemalsuan Hadits tidak akan terjadi pada ulama sekaliber al-Ghâzali. Terlalu rendah intelektualisme al-Ghâzali bila harus memalsukan Hadits untuk menopang pemikirannya. Imâm Ghâzali sendiri telah meletakkan sebuah prinsip bahwa pemalsuan Hadits dengan alasan apapun tidak diperkenankan. Pernyataan tersebut sebagai penangkis terhadap dugaan bolehnya memalsukan Hadits untuk fadhâ’ilul-a`mâl atau pencegah tindakan tercela. Menurut al-Ghâzali keberadaan ayat dan Hadits sahih telah cukup untuk memenuhi tujuan tersebut.
Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa penulisan Hadits palsu dalam literatur Imâm Ghâzali muncul dari unsur ketidak sengajaan atau keliru. Dalam pembendaharaan kata arab istilah yang dipakai untuk menyatakan makna ini adalah kata khatha’ bukan ghalath. Abû Hilâl al-Hasan Abdullâh bin Sahal al-`Askari membedakan antara keduanya dengan menitiktekankan terhadap ada dan tidaknya unsur kesengajan. Jika memang sengaja maka disebut ghalath dan khata’ apabila sebaliknya.
Kemudian, kesimpulan ini dihadapkan pada sabda Nabi “rufi`a `an ummati al-khata’“, yakni diantara perbuatan umat Islam yang dimaklumi (dimaafkan) adalah tindakan yang muncul tanpa adanya unsur kesengajaan (khatha’); bukan yang memang bertujuan salah (ghalath). Karenanya, tiada dosa bagi tindakan yang muncul tanpa disengaja. Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni telah mengutip adanya konsesus ulama akan hal ini, termasuk keliru dalam meriwayatkan Hadits. Lalu, akankah kita menghukumi al-Ghâzali sebagai pendosa dan pendusta?
Kelima, apabila kita bercermin pada takhrîj al-Hafizh al-Irâqi, maka tidak akan ditemukan lebih dari tiga Hadits yang disepakati kepalsuannya. Namun, berbeda apabila kita mengacu pada komentar al-Hâfizh Ibnu al-Jauzi. Terdapat sekitar dua puluh lima Hadits yang diklaim maudhû` olehnya. Ibnul Jauzi memang dikenal sebagai ulama yang sembrono dalam memfonis palsu sebuah Hadits. Sikap kontroversi Ibnul Jauzi ini banyak mendapat sorotan kritis dari para muhadditsîn. Sehingga, banyak klaim yang dilontarkan Ibnul Jauzi justru mendapat bantahan balik.
Al-Hâfizh al-`Irâqi dan al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sanggahan khusus terhadap tuduhan palsu Ibnul Jauzi akan kesahihan beberapa riwayat Imâm Ahmad. Sedangkan al-Hâfizh Jalâluddîn as-Suyûthi menulis Al-Qaul al-Hasan fîdz-Dzabbi `anis-Sunnan yang secara umum membantah segenap tuduhan palsu Ibnul Jauzi terhadap riwayat Imâm Bukhâri, Muslim, Ahmad, Dâwud, Turmuzi, Nasâ’i, Ibnu Mâjah, Mustadrak al-Hâkim, dan beberapa Hadits lagi di berbagai literatur yang lain.Ringkasnya, sebagaimana yang telah disimpulakan oleh as-Syaikh Muhammad Mahfûzh bin Abdullâh at-Turmûsi, mayoritas Hadits yang diklaim palsu oleh Ibnul Jauzi dalam beberapa karya kritisnya, semisal Al-Maudhû`at dan Al-`Ilal al-Mutanâhiyah, adalah hadits shahîh, hasan atau juga dha`îf. Kesimpulan ini diperkuat dengan adanya pernyataan Ibnu Shalâh bahwa Ibnul Jauzi memang banyak memvonis palsu terhadap Hadits dha`îf tanpa ada dasar kepalsuan.
Fakta lain berbicara mengejutkan ketika kita menyimak berbagai karya Ibnul Jauzi; tidak hanya kedua kitab di atas, utamanya di bidang mawâ`izh dan tasawuf, semisal Bahrud-Dumû` dan Al-Wafâ fî Ahwâlil-Mushtafâ. Kedua kitab ini banyak memuat Hadits palsu lebih dari isi kitab yang ia kritisi. Sampai-sampai, Dr. Ibrâhîm Bâjis bin Abdul Majid dan Dr. Mushtafâ Abdul Qadîr `Athâ terkejut akan kenyataan ini. Sosok Ibnul Jauzi yang terbilang berlebihan dalam kritik Hadits dan keras menentang cerita-cerita aneh, justru karya-karyanya dipenuhi oleh kedua hal tersebut. Ibnul Atsir sejarawan abad VII juga menyatakan keterkejutan serupa dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh-nya.
Untuk itu tidak salah apabila al-Imâm al-Hâfizh Ibnu Hajar al-`Asqalâni memberikan sebuah kritik pedas bahwa “mayoritas riwayat yang termuat dalam karya-karya Ibnul Jauzi (selain kitab kritik haditsnya) adalah maudhû’. Riwayat yang perlu dikritisi lebih banyak daripada yang tidak”. Bahkan Ibnul Jauzi tidak segan untuk mengutip sebuah riwayat dari karya yang pernah dikritisinya, atau sekedar menukil Hadits-hadits yang telah di vonis palsu dalam kitab Al-Maudhû`ât-nya.Namun, bukan berarti menyerang balik terhadap sebuah kenyataan yang sama pahitnya. Menyimak fakta ini, kita juga perlu bersikap bijak tanpa mengesampingkan etika intelektualitas melalui sisi pandang kebenaran yang lain.
Keenam, mengenai perselisihan dalam status hukum maudhû` yang muncul dari penilaian Imam Hadits selain Ibnul Jauzi, cukup kiranya diketahui bahwa hal tersebut masih dalam ranah ijtihâdi yang tidak perlu dielukan. Penilaian muhaddits dalam studi kritiknya memang cenderung beragam, karena vonis palsu dalam kritik Hadits hanyalah aplikasi dari sebuah praduga yang tidak menutup adanya kemungkinan keliru. Lebih-lebih, apabila kritik diarahkan pada mata rantai periwayatan.
Dan lagi, jumlah yang diperselisihkan itu terbilang sangat sedikit; tidak lebih dari tiga redaksi Hadits. Diantaranya adalah Hadits yang menyebutkan keutamaan membaca Fâtihatul-Kitâb dan dua ayat dari surat Ali `Imrân yang diklaim palsu oleh Imâm Ibnu Hibbân. Di dalam rangkaian sanad Hadits tersebut terdapat Al-Haris bin `Amîr yang menurut Ibnu Hibbân sebagai sosok periwayat Hadits palsu. Namun, tuduhan ini dibantah oleh al-Hâfizh al-`Irâqi. Al-Hâfizh melandasi bantahannya pada label tsiqqah yang telah diberikan oleh Hammâd bin Zaid, Ibnu Mu`in, Abû Zar`ah, Abû Hâtim, dan Imam Nasâ’i kepada Al-Haris bin `Amîr.
Wal hasil, sebesar apapun kritikan terhadap Ihyâ’ Ulûmiddîn secara khusus dan literatur-literatur salaf yang lain secara umum tidak akan mengurangi nilai kebesaran yang telah diraihnya. Pembuktian secara ilmiyah dan obyektif telah memberikan bantahan nyata terhadap kritik dan tuduhan yang tidak berdasar itu.Sejarah juga turut menjadi bukti akan kebesaran mereka.
0 comments:
Post a Comment