1.Berkata Imam Syafi’i :
“Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu’.1
2.Berkata Imam an-Nawawi :
“Yang membatalkan wudhu’ yang ketiga adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mahram ”.
Selanjutnya al-Mahalli dalam mensyarah pernyataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu firman Allah : أو لامستم النساء dan makna dari hukum runtuh wudhu’ dengan sebab bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan adalah bersentuhan itu merupakan madhannah (diduga berpotensi) kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.2
Seorang isteri tentunya berpotensi syahwat bagi seorang suami, karena isteri bukan mahram bagi seorang suami. Kalau seorang isteri menjadi mahram bagi suaminya, tentunya suami tersebut tidak boleh nikah dengannya. Oleh karena itu, bersentuhan tubuh isteri dengan suami dapat membatalkan wadhu’, sama seperti bersentuhan dengan wanita lain.
Ayat di atas, lengkapnya adalah sebagai berikut :
Penafsiran لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan arti bersentuhan didukung oleh hadits Ibnu Umar, yaitu :
Al-Nawawi mengatakan tentang hadits di atas :
“Isnad ini sangat shahih sebagaimana kamu perhatikan”. 4
Sebagian umat Islam berpendapat tidak membatalkan wudhu’ karena bersentuhan antara kulit suami dan isteri. Mereka berargumentasi dengan antara lain :
1. Hadits dari Aisyah r.a. ;
Hadits ini telah dinyatakan dha’if oleh Bukhari, 6 Sufyan al-Tsury, Yahya bin Sa’id al-Quthan, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Abu Bakar al-Naisabury, Darulquthny, Baihaqi dan lainnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Naisabury dan lainnya mengatakan :
“Hubaib tersalah dari ciuman orang berpuasa kepada ciuman orang berwudhu’.7
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang shahih dari hadits Aisyah hanyalah “Sesungguhnya Nabi SAW mencium isterinya dan beliau dalam keadaan berpuasa”.8
Hal senada juga disampaikan oleh Baihaqi. Beliau mengatakan :
“Hadits yang shahih dari Aisyah hanyalah tentang ciuman orang berpuasa. Perawi-perawi dha’if yang mempertempatkan kepada meninggalkan wudhu’ dari ciuman”.9
Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat dijadikan sebagai hujjah tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
2.Hadits dari Abu Rauq dari Ibrahim al-Taimy dari Aisyah ;
Menurut Baihaqi, hadits ini mursal, karena Ibrahim al-Taimy tidak mendengar riwayat dari Aisyah. Lagi pula Abu Rauq dalam sanad tersebut menurut Abu Daud adalah lemah. Yahya bin Mu’in dan lainnya telah melemahkannya. 12
3.Hadits dari Abu Qutadah al-Anshary ;
Imam al-Nawawi menyebut beberapa jawaban terhadap argumentasi dengan hadits ini, yaitu antara lain :
a.mengendong tidak berarti bersentuhan kulit.
b.Umamah pada waktu itu masih anak-anak. Kalaupun bersentuhan kulit, tetap tidak membatalkan wudhu’, karena anak-anak tidak membatalkan wudhu’
c.Umamah adalah cucu Rasulullah sendiri dari anak beliau, Zainab. Dengan demikian masih muhrim Rasulullah SAW. Bersentuhan kulit dengan muhrim tidak membatalkan wudhu’ 14
4.Hadits dari Aisyah ;
Dalam riwayat al-Nisa’i, hadits ini dengan redaksi :
Menurut al-Nawawi kedua hadits di atas ihtimaal (boleh jadi) mengisyarat dengan menyentuh dengan ada lapiknya. Bahkan dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan lapik, karena Aisyah r.a. pada saat itu dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, biasanya tentu dalam keadaan berselimut 17. Sedangkan dalil yang ihtimal, sebagaimana dimaklumi menggugurkannya sebagai dalil, apalagi apabila diperhatikan konteks hadits ini, maka dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan ada lapik. Maka dengan demikian, kedua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan kulit suami dan isteri.
Oleh: Tgk Alizar Usman
DAFTAR PUSTAKA
1.Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14
2.Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Juz. I, Hal. 32.
3.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 43
4.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 30-31
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
7.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
8.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
9.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126
10.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
11.Darulquthny, Sunan Darulquthny, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 256, No. Hadits : 501
12.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
13.Bukahri, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 516
14.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
15.Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 138, No. Hadits : 519
16Al-Nisa’i, Sunan al-Nisa’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, No. Hadits : 101, No. Hadits : 166
17.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
0 comments:
Post a Comment